(Sebuah Cerpen,diangkat dari kisah nyata) “Kampung ini jadi terasa
asing bagiku bang,semakin lama semakin aku tak meridukanya,kampung ini
juga seperti tak menyambutku,terasa dingin dan kaku….”
Katanya padaku suatu ketika dalam obrolan singkat kami didepan sebuah
rumah panggung,rumah usang berdinding papan,yang sudah lapuk,kusam dan
reyot.
Aku menarik nafas dalam-dalam dan berusaha memahami maksud ucapannya.
Sorot matanya menatap nanar,ke arah rumah berpanggung,yang bagian
belakangnya hanya menyisakan tiang-tiang kayu penyangga,yang kian reyot
dan rapuh.
hanya menyisakan bagian depannya saja,halamanya tampak ditumbuhi rumput
liar,lalang dan tumbuhan sejenis perdu yang tumbuh tinggi.
Ya..itulah rumah masa kecilnya,seribu satu kenangan tersimpan disana,ia
lahir dan tumbuh sampai usia delapan tahun dirumah itu,atau sejak kelas 3
sekolah dasar.
Diusia yang masih amat belia,mereka harus kehilangan ibu
nya,meninggal karena sakit,dan dua tahun kemudian,ia bersama adik
perempuanya Farida,harus hidup dan tinggal dirumah Bapa uda nya,yang tak
jauh dari rumah mereka,adakalanya mereka pindah kerumah namborunya,juga
yang tak jauh dari sana.
Sejak Ayah mereka pergi entah kemana,kabarnya menikah lagi dengan
perempuan lain di daerah Pekan Baru sana,praktis kehidupan mereka berdua
kian tak menentu.
Ahirnya sampai lulus SD.ia tinggal dirumah namborunya,dan setelah merasa
yakin,dengan diusianya yang masih sangat belia,13 tahun,ia harus pergi
meninggalkan rumah namborunya,dan menjalani kerasnya kehidupan di
terminal,awalnya ia nekat mencoba peruntungan degan menyemir
sepatu,diterminal Parluasan Siantar,saban hari ia berkutat dengan
semir,busa dan lap sepatu,demi menyambung hidup.
Kerasnya kehidupan dunia terminal,kian lama kian mengasah dan menempanya menjadi orang yang bejiwa baja,keras dan tangguh.
Dua tahun lebih ia lakoni sebagai penyemir sepatu diterminal,pahit
getirnya kehidupan ia alami dan rasakan,pun demikian,ia tak terbawa
arus,nakal dan bandal,walau hari harinya selalu lekat degan kehidupan
jalanan yang terkenal keras dan kejam.
Tiap kali menyemir sepatu,ia tak pernah menentukan berapa tarif yg haruw dibayar oleh siempunya sepatu.
“Pangalean ni datulang ma..”begitu selalu ucapanya dengan wajah
tertunduk dan agak memelas,tiap kali ditanya oleh si empunya sepatu usai
menyemir.
dan biasanya ia selalu mendapat bayaran diatas tarif,karena si empunya
sepatu merasa agak terkesan,simpatik ditambah sedikit rasa iba
kepadanya.
Berbeda halnya dengan para penyemir sepatu lainnya misalnya,yang
terkadang berbuat curang dan nakal kepada si empunya sepatu,entah itu
dibawa kabur,dipaksa agar sepatunya disemir atau malah sengaja disobek
kemudian dijahit paksa sendiri,walau tak seijin pemiliknya.
Dua tahun lebih ia jalani sebagai penyemir sepatu dikisaran terminal Parluasan dan sekitarnya.
Hingga tiba pada suatu hari,ia menyemir sepatu seorang Bapak bapak yang
sedang makan mie goreng dekat Terminal Parluasan,dijalan Gotong royong.
Selama menyemir sepatu itu,ternyata si empunya sepatu memperhatikan dan mengamatinya daritadi.
Usai menyemir,kemudian siempunya sepatu menanyakan marganya,yang ternyata semarga dengannya.
“Amang tahe anggikku do hape..”kata si bapak tadi,begitu mereka berkenalan.
Kemudian dia diajak kerumah si bapak tadi,yang kemudian dipanggilnya Bapa Tua.
Sekaligus,inilah kisah ahir ia meninggalkan dunia semir memyemir sepatu.
Ia kemudian di asuh dan dijadikan anak angkat oleh bapa tuanya
tadi,dan tinggal masih di kisaran Pematang siantar,kemudian disekolahkan
masuk smp.hingga lulus,setelah itu masuk sma,dan tiga tahun kemudian,ia
pun lulus sma.
Selulus sma,ia memilih merantau ke Jakarta.
Masa-masa awal dijakarta,ia berjualan koran,air minum
mineral,diterminal,hingga jadi kondektur metro mini,semua ia lakoni,ia
tak mau tergantung kepada kerabat dan keluarga bapa tua angkatnya yang
ada dijakarta.
Ia sadar betul,ia tak punya apa-apa yang bisa diandalkan,hanya kerja
keras,ketekunan dan keuletan lah yang dapat merubah nasibnya,agar kelak
bisa lebih baik,walau keinginan dan impianya hanya sederhana dan tak
muluk-muluk.
ia benar-benar mengandalkan”Habengoton”selama diperantauan.disela-sela
kegiatannya itu,ia juga melanjutkan kuliah disalah satu universitas
swasta didaerah Jakarta timur.
Kini usianya sudah mendekati 23 tahun,dan dua tahun yang lalu,ia lulus
tes cpns.sebuah pencapaian melebihi apa yang dia cita-citakan dan
impikan sebenarnya.
Ia bisa menang hanya mengandalkan doa dan nasib,sesuatu yang amat jarang dan langka sebenarnya,apalagi saat ini.
Ia sampai menangis,melukiskan kegembiraan-nya kala ia tau namanya masuk
dalam daftar cpns yang lulus kala itu,berulang kali ia meyakinkan
dirinya bahwa ia sedang tidak bermimpi melihat nama dan nomor peserta
nya muncul
Ia melonjak kegirangan,bahkan menangis tersedu sedu bagai seorang anak
kecil,melukiskan kegembiraannya kala itu,ingin sekali rasanya memberi
kabar bahagia itu kepada bapak dan ibunya,pula kepada iboto nya
Farida,namun semua itu tak mungkin.
Ia tak lagi tau dimana Bapaknya,ia tak lagi bisa berbicara menyampaikan
kabar baik itu pada Ibunya yang telah 15 tahun meninggal dunia,sementara
Ibotonya Farida?sudah hampir 5 tahun tak ada kabar.
Sedih memang..!!
“Aku menangis meratapi nasibku kala itu bang.semua serasa campur
aduk,aku ingin berbagi kebahagiaan dan sukacita yg sedang
kurasakan,namun,alangkah lebih sedihnya ternyata ketika mendapati
kenyataan bahwa kebahagiaan yg sedang kita rasakan itu,tak tau kemana
hendak disampaikan dan bagikan.”katanya padaku dengan wajah sedih,sorot
matanya menatap hampa
Kini,ia sudah bekerja disalah satu Dinas Instansi Pemprov DKI Jakarta.
Dua tahun kemudian.
Ia kembali kekampung halaman,menjejakkan kakinya di depan rumah yang
menyimpan seribu satu kenangan dalam benaknya,Rumah tempat dimana dahulu
ia dilahirkan,penuh kenangan walaupun hanya sesaat.
Rumah panggung yang reyot,berdinding papan lusuh dan lapuk,tinggal
menunggu waktu rubuh.seakan jadi saksi bisu akan semua masa lalu yang
masih jelas dalam ingatan nya,walau menyisakan kesedihan.
“Ah..aku masih bisa bayangkan sebuah kehidupan masa lalu dirumah ini
bang..”katanya kepadaku diujung percakapan kami sambil langkah kakinya
mendekat kearah pintu Rumah itu.
Dibulan Juli,tahun yang lalu,ia sengaja minta ijin cuti dari
kantor,ia menceritakan tujuan utamanya pulang kampung yaitu mencari
keberadaan adik perempuanya,Farida,yang telah 5 tahun tak ada kabar dan
berita,sekaligus ingin jiarah le makam ibunya.
Mendengar cerita itu,si Bos,yang asli dari Solok,Sumatera Barat itu,langsung memberi ijin cuti selama delapan hari.
“Semoga kau dipertemukan dengan adik mu farida,harapan saya
begitu,segeralah urus segala keperluan mu..”kata si bos sambil
menandatangani secarik kertas diatas meja.
Dua hari kemudian,ia pulang kampung ke Siantar.
Sesampai di siantar,ia sengaja menyewa mobil rental selama 4 hari.
Pencarian jejak adiknya farida pun dimulai,mulai dari teman
sekolah,hingga kenalan adiknya itu dijumpai satu per satu,mulai dari
Batu anam,kampung karo,tanah jawa,sampai dolok melangir,bahkan sampai ke
medan,namun hasilnya nihil.!!
Hari ke lima ia kekampung,walaupun selama pencarian empat hari tak
menunjukkan titik terang keberadaan adik saru satunya itu,ia merasa
yakin dan optimis,suatu saat ia akan berjumpa dengan adiknya itu.
“Entah kenapa bang,aku merasa yakin sekali suatu saat bejumpa dengan iboto ku itu..”katanya padaku penuh harap.
Sore,sekitar pukul empat,ia berjalan lunglai,menuju ke makam ibunya,jaraknya tak begitu jauh dari bekas rumah mereka.
Ia bersujud persis disamping makam itu,tatapan matanya penuh
hampa,jiwanya bak kering,matanya berkaca kaca,tak lama kemudian ia
menangis.
“Tak adil rasanya dunia ini bagiku mak,begitu pahit perjalanan hidup
yang harus kulalui,tanpa kau,bapak,bahkan ito farida…aku bagai manusia
gagal,yang tak mampu menjaga adikku,aku bagai laki laki yang tak
bertanggung jawab..aku tak tau kemana lagi harus mencari farida,aku
rindu kepadanya,seperti hal nya aku merindukan mu mak,tapi…”mulutnya
seperti tiba tiba tertutup,lidahknya bagai terasa kaku..ia seperti tak
mampu melanjutkan kata katanya.
“Aku tidak pernah merindukan bapak,dan aku sangat membecinya,sampai
kapan pun..maafkan atas keputusanku ini mak,terlalu banyak derita yang
kami tanggung sejak kepergian bapak,apalagi setelah mengetahui ia
menikah lagi dengan wanita lain,aku marah,kesal,benci dan seribu alasan
lagi untuk membuatku membecinya,ia seperti menghianati cintamu,suami yg
dulu kau sayangi,ia mencapkkan kami,bagai batang batang padi yang usai
dituai bulir padinya,dibuang dan dicampakkan begitu saja,seolah tak
berarti.
Aku sama farida,bagai anak ayam kehilangan induknya,hari-hari kami lalui
penuh dengan hati yang terluka,tak tau berbuat apa,kami hanya bisa
menangis dan menangis.
Satu satunya tempat kami mengadu,hanya namboru,ya..namboru..disanalah
separuh perjalanan usia kanak-kanak ku,bersama Farida terlewati,hingga
pada suatu waktu,aku dipertemukan dengan seorang Bapa Tua,yang kuanggap
sebagai malaikat utusan Tuhan,seorang Bapa tua yang sangat baik hati,aku
dibesarkan,dia pulalah yg menjadikanku mulai mengenal kehidupan dunia
ini secara realistis,ia menjadikanku manusia yang kuat,sekuat
baja,keras,sekeras intan,ia menempaku jd manusia yang tak gampang
menyerah,mengaj
ariku arti kehidupan,penuh bersyukur,menuntunku melihat bentangan
cakrawala dunia yang lebih,luas tanpa batas..ya..semua itu patut aku
syukuri…
Kali ini,ijinkan aku mengeluh,aku ingin tumpahkan segala keluh kesahku
padamu mak,walau kutau ini semua hanya sia-sia,izinkan aku menangis
diatas pusara mu ini…setidaknya dengan begitu,rasa penat yang menyesaki
dadaku selama bertahun tahun lamanya sedikit lega rasanya….
Tau kah kau mak?kabar berita turut kusampaikan padamu…”
Suaranya kembali tercekat..ia seakan tak mampu melanjutkan kata katanya….
Kemudian ia melanjutkan..
“aku sekarang sudah pegawai di Jakarta,ini semua berkat kuasa dan kemurahan Tuhan….”ia menangis sesengukan,
“Mauliate ma Inong,nauli nabasa,paroha naburju,tak pernah kusangka aku
bisa PNS,sedikitpu tak pernah..!!aku dapat hidup dan bertahan hidup
ditanah rantau,sesuatu yang patut aku syukuri,tak muluk muluk,itu saja
doa ku setiap hari…namun ternyata Tuhan punya jawaban lain atas doa ku
mak,aku bahagia mak,aku senang sekali,walau aku harus menangis merayakan
semua kebahagian ini…
Kini satu tugas lagi yang belum bisa kuwujudkan,yaitu mencari ito
farida,kirannya,atas petunjuk Tuhan,aku segera bertemu dengan boru
siampudan mu itu….”
Kemudian ia membasuh wajahnya dengan air,dan menaburi aneka bunga-bunga diatas makam ibunya itu.
“Aku pergi dulu ya mak…”katanya sambil berlalu meninggalkan makam ibunya itu,disore yang kian menjelang.
Hari ke delapan,sebelum kembali ke Jakarta,ia mengunjungi rumah
namboru dan bapa udanya dikampung itu,dan berpesan agar menyampaikan
kepadanya,sekiranya ada informasi mengenai keberadaan farida,sekecil
apapun informasi itu sangat berharga baginya.
Dan ke esok harinya,ia kembali ke jakarta.
meskipun tanpa hasil dan mendapat satu titik terang keberadaan iboto nya itu.
Waktu pun berlaluDua Bulan kemudian.
Disela-sela jam kerja kantor,ponselnya berdering,terlihat dilayar,sipenelepon adalah namborunya dari kampung.
“Horas ito…boa kabar mu,sehat doho?boha karejom,denggan do sude kan ito..?”kata namborunya dari seberang telepon
“Horas namboru,kabar baik,sehat-sehat do namboru,karejo lancar,boha
kabar ni halak namboru sehat do kan..?jawabnya sambil menyerderkan
tubuhnya dikursi meja kantornya itu.
“Sehat do ito..mauliate ma di Tuhan…”
“Eh…boti dabah ito…”lanjut namboru nya itu dari seberang.
“Aha mai namboru…”
“Dua ari nasalpu,adong martelepon tu au,sada anak boru,ninna dongan ni
si Farida,jala paboahon lagi dibagasan parsahiton ibana nuaeng..”
“Hah….tungu sebentar ya namboru,tunggu..tunggu ya.”katanya sambil
meninggalkan ruangan,sambil bergegas mencari tempat yang sepi,dibelakang
kantor itu,agar bisa fokus menyimak informasi penting yang disampaikan
oleh namborunya itu.
“Haloo…namboru..trus dimana katanya dia..?”katanya melanjutkan percakan tadi penuh semangat dan berapi-api.
“Eh..imadah ito,dang sempat dipaboa,jala dang sompat husukkun,alana langsung putus do telepon nami i.”
“Sai hupaima ima do nian,atik bea manelepon muse,hape nungga 2 ari dang ditelepon..:kata namborunya melanjutkan.
“Nomor yang nelepon namboru simpan gak?”
“Nungga disimpan laem nian,alai dicoba dihubungi,dang boi masuk..”
“Coba kirim nomornya itu naboru,biar aku yang telepon orang itu..”katanya diujung percakapan mereka.
Nomor itupun dikirimkan,melalui pesan singkat
Dan setelah diamati,nomor itu ternyata bukan provider asal
indonesia,namun salah satu Perusahaan Provider seluler yang beroperasi
di Negara Malaysia.!!
“Hah..kok nomor dari Malaysia.?”katanya sambil mengeritkan keningnya.
Pikiranya kian memunculkan opini yg macam macam.
“Kalau memang benar,kok bisa sampai farida ke Malaysia.?trus darimana
dia dapat nomor hp namboru.?sementara dia tak pernah pulang ke kampung
dlm kurun waktu yang lama,siapa yang berikan nomor hp namboru kepada
farida?”benaknya selalau bertanya tanya.ah..tak apalah,yang jelas sudah
ada titik terang keberadaan itoku itu.walau informasinya masih
sumir..”bathinya.
Setelah itu,ia berusaha menghubungi nomor itu,hingga berkali-kali,namun
jawaban yang diterima selalu dialihkan atau malah”mail box”
iapun tak menyerah,ia mencoba dan mencoba terus,hingga puluhan kali.
Ia sadar,hanya inilah satu-satunya kesempatan untuk mencari tahu informasi tentang keberadaan farida.
Hingga pada ahirnya,ia kembali menghubungi nomor itu,dan tersambung.
“Haloo….”suara perempuan terdengar menyapa dari seberang telepon.
“Ya..halo..haloo…maaf,ini dengan siapa ya?ini farida bukan..?”tanya nya dengan semangat.
“oh..farida lagi di Hospital,saya kawanya,encik siapa..?tanya suara perempuan itu dari seberang.
“Ini di Malaysia ya?”
“Ia betul encik..”
“Saya H****an, abangnya farida,kalau boleh saya tau,farida di rumah sakit apa di malaysia..?”
“Hospitaly.xxxxx…negara bagian Sabah..”jawab perempuan itu dari seberang.Kemudian hari itu juga ia,menyiapkan segala keperluan,dan kembali
mendatangai Bos nya,dan si Bos pun tak pikir panjang lagi,langsung
menyetujui izin cuti selama tiga hari,si bos juga merasa senang mendapat
kabar berita itu dari anak buahnya.
Esok harinya,ia mengurus segala berkas dan dokumen perjalanan,mengurus
visa dan paspor ke kantor Kedutaan Malaysia di jalan Rasuna Said
Kuningan.
Hari berikutnya ia terbang ke Malaysia,sepanjang perjalanan didalam
pesawat,ia membayangkan wajah ibotonya itu,perasaannya antara sedih dan
bahagia,sedih kala mengetahui adiknya sedang terbaring sakit dan tak
berdaya dirumah sakit,dinegara lain pula.Bahagia,karena sebentar lagi ia
akan bertemu dengan adiknya itu,keadaan dan situasi harus memisahkan
mereka dlm kurun waktu yang cukup lama.ah..kasihan sekali nasib ibotoku
ini,bathin nya seakan menggugat.
Belum lagi pertanyan-pertanyaan lainya yang menyelubungi
pikirannya,kenapa bisa sampai dia ke malaysia,siapa yang bawa dia,kerja
apa dia disana,dan sakit apa farida?yang pertanyaan lain nya…
Pesawat berjenis Boing 737 berwarna merah dominan yang ia tumpangi dari
Bandara Soekarno Hatta itu ahirnya tiba di Air Port Kuala Lumpur
Malaysia,dan setiba disana ia segera mencari taxi untuk kemudian
melanjutkan perjalanan menuju Sabah.
Dan sebelum tiba di Sabah,ia sudah menghubungi teman perempuan adiknya itu.
Kemudian mereka bertemu sekaligus berkenalan singkat di Loby Gedung Hospital itu.
“Sri Sulastri…”kata perempuan itu memperkenalkan diri sambil mereka
saling berjabat tangan,kemudian mereka ngobrol sejenak,sekedar
basa-basi.dan ternyata ia berasal dari Jember,Jawa Timur.seorang Pekerja
Imigran yang sudah enam tahun bekerja dan berdomisili di negeri Jiran
itu.
Kemudian gadis itu megajaknya ke lantai 8 Hospital itu,tempat dimana Farida sedang dirawat.
Tak sabar rasanya ia ingin segera bertemu dengan adiknya itu,ingin
rasanya cepat-cepat bertemu dan memeluk tubuh ibotonya itu,melepas semua
kerinduan.
Ia langsung menyongsong ke arah tubuh adiknya itu..
“Ito….farida…ini aku ito,abang mu..si Hxxxan..”katanya sambil mendekap tubuh adiknya itu.
Tubuh farida ditancapi berbagai peralatan selang medis,dan tersambung ke layar monitor komputer.
“Ito…sakit apa kau..?amang tahe iboto ki,ikkon songonon ma sitaonon mu hape ito hasian..”katanya sambil menangis terisak..
Farida tampak terbaring,matanya tertutup rapat,dan sama sekali tidak
merespon,hanya jemari tanganya sesekali bergerak refleks menandakan
masih ada tanda denyut kehidupan.
Ia mengusap usap kepala adiknya itu penuh dengan kasih sayang.
“Sakit apa farida mbak..?”tanya dia pada Sri kawan baik farida itu.
“Dua hari yang lalu,tiba-tiba dia pingsan dan jatuh terjerembab di tempat kerja,kepalanya membentur benda keras..”
“Hah…!!”katanya keget..
“Emang farida kerja dimana selama ini mbak,bidang apa,sejak kapan?”tanyanya penuh selidik..
Kemudian Sri menceritakan semuanyaMula sejak pertama mereka bertemu.di daerah Negara bagian
Kelantan,saat farida terdampar disana,kemudian ia mengajak farida
tinggal bersama nya,hingga ahirnya berkat usaha dan kegigihanya,dia
diterima bekerja disebuah perusahaan tempat bekerja kami sekarang.
“Sudah hampir tiga tahun aku dan farida bekerja di perusahaan yang sama di Malaysia ini mas..”kata Sri,menjelaskan.
Di Ruang selasar lantai 8 Rumah sakit itu,kemudian ia dan Sri melanjutkan cerita perjalanan farida hingga sampai ke Malaysia.
Matanya tampak berkaca kaca mendengar penuturan sri.
“Farida juga selalu menceritakan tentang mas,ia menggambarkan
mas,seorang abang,kakak yang ia kagumi,penyayang,mandiri dan seorang
pekerja keras,ia juga sering mengatakan rindu kepada Ibunya yang sudah
lama meninggal,rindu kepada mas,rindu akan semua masa-masa kecil
dahulu,sebelum kebahagian itu dirampas oleh waktu,waktu yang tidak
adil..”kata Sri menyampaikan semua kata-kata yang pernah diceritakan
Farida padanya.
“Farida sosok wanita tangguh mas,ia seorang pejuang,tak mengenal kata
menyerah,ia tak mau merepoti orang lain,tapi satu hal.ia sepertinya
tidak menyukai ayahnya.sering kali ia seperi tersindir jika kami
bercerita mengenai sosok ayah,wajahnya seperti dipenuhi amarah dan
kebencian jika menyinggung tentang sosok ayah..”kata sri melanjutkan.
“I hate him..”kata sri mengutip ungkapan farida tentang sosok Ayahnya itu.
“Ya kurang lebih begitulah mbak,semua yang diceritakan farida memang apa
adannya,kami berdua harus terpisah sejak kecil,oleh karena
keadaan..”katanya melanjutkan,matanya menatap kesatu arah kejauhan sana.
Dua hari kemudian.
Perkembamgan kesehatan farida mulai semakin membaik,tangan nya mulai
merespon gerakan,matanya mulai terbuka perlahan lahan,bayangan matanya
menatap sosok wajah,yang masih terasa asing baginya.
“Abaaaaa….ng..?”kata farida,dengan suara perlahan,bahkan nyaris tak
terdengar,saat melihat wajah abangnya persis duduk disampingnya.
“Ia ito…ini aku abang mu,Hxxxan,aku disini ito..”
seketika tangis farida langsung pecah,dan berusaha memeluk tubuh
abangnya,mereka saling berpelukan,menangis meluapkan kerinduan
masing-masing.
“Kemana saja kau bang selama ini…huu..huu..huu…”kata farida sambil
menepuk nepuk punggung ibotonya itu,seakan meluapkan rasa kesal
sekaligus rasa rindunya selama ini.
“Ia..aku sudah disini ito..maafkan aku itoku…”jawabnya sambil menangis sesengukan.
Sri yang sejak tadi berada diantara mereka menyaksikan situasi yang
mengharu biru itu,turut menitikkan air mata,ia merasa amat terharu
sekaligus terhenyuh akan situasi itu.
Setelah farida pulih dan sehat,ia mengikuti ajakan ibotonya,supaya
ikut ke jakarta agar ia bisa melanjutkan kuliahya,seperti yang ia cita
citakan semenjak kecil.
Kini.farida sedang kuliah disalah satu Universitas di bilangan Jakarta
Barat,mengambil jurusan Bisnis Managemen,dan kini telah memasuki
semester tiga.**
Demikian.
Home »
» Cerpen: Rumah Usang dan Kisah yang Menyertainya
Cerpen: Rumah Usang dan Kisah yang Menyertainya
Written By Unknown on Friday, 4 December 2015 | 12:52
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 comments:
Post a Comment